Sunday, November 23, 2014

BAPAK BAGINDO MUCHTAR @ BBM: Kuliah V 1974 : Januari 17 & 18 Pulau Pinang (FULL)


🌼   Kuliah 5  ðŸŒ¼
Bagan Jermal, Pulau Pinang
17 & 18 Januari 1974

Sanggupkah orang menentangnya? Cuba kita bayangkan!
Tapi jangan diiktikad tadi bahawa kitalah itu yang Allah. Itu salah dalam pendirian! Tapi jangan terlampau ke situ kita berfikir.


* * *

Kita tuntut ilmu. Kita cari ilmu. Kita punya dan kita yakin akan kebenarannya. Bawakan.  malkan. Jalankan. Macam saya berikan contoh, bukan? Ibarat perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Terutama yang dikehendaki oleh Nabi Khidir tadi sabar. Nabi Musa tadi dapat perintah, pengetahuan dari Tuhan bahawa, “Ada seorang  hamba-Ku yang telah Ku-ajarkan ilmu pengetahuan.”


Disuruh Nabi Musa mencari Nabi Khidir di suatu tempat dengan petunjuk Tuhan untuk belajar ilmu pengetahuan padanya. Setelah dia jumpa, terutama apa katanya Nabi Allah Khidir tadi?
“Engkau tak akan sabar berserta aku.”
Perkataan itu harus hendaknya menjadi renungan pada kita.

‘Engkau tak akan sabar berserta aku.’ Dikehendaki sabar. Bila kitaberbuat sekarang gerak kita yang di luar ini hanya menurutkan saja dengan tenang dan sabar. Kalau ada orang mengatakan itu... itu.... itu.... itu jangan marah. Sabar. Sabar. Sabar. Sabar.


Dan antara lain katanya, kan?
“Engkau kalau belajar sama aku harus berjalan berserta aku. Ikut aku berjalan. Berjalan berserta aku dan dalam perjalanan apa-apa yang aku buat, engkau tak boleh tanya. Lihat saja. Nanti satu masa, satu waktu, selepas selesai atau kembali di tempat perhentian perjalanan pengembaraan kita, engkau boleh tanya apa yang telah aku lakukan.”


Kita harus halus-halusi itu lahir dan batin.
Bagaimana ingatan sekarang kalau saya katakan perjalanan gerak, perjalanan kita ini seolah-olah perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir? Saya tak mengatakan ini Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Seolah-olah, seperti atau seakan-akan. Dan telah banyak berpengalaman, dalam pengetahuan ini gerak, isi yang di dalam itu yang berbuat, yang di luar ini yang menurutkan, tidak?


Jadi yang kita yang ini menurutkan, tidak? Dia yang berbuat. Kan dia yang berbuat? Yang di luar atau yang dalam yang berbuat ini? Yang lahir atau yang batin? Atau dua sejalan, bukan? Jadi yang di dalam itu, dia yang berbuat. Kita ini, aku ini, yang menurut saja!


Dicekik anak kecil sampai mati. Jadi, kalau bohong kisah yang saya buka ini, buka surat al-Kahfi, 60 sampai 82, hanya kepada  yang tahu menterjemahnya riwayat Nabi Musa dengan Nabi Khidir.


Ada terjemahan bahasa melayu ka… bahasa Indonesia, pelajarilah.
Kita tenung, kita menungkan. Ibarat satu, semua orang bisa membaca, tapi tak semua dapat menangkap hikmah yang terkandung padanya. Semua bisa baca. Ada orang yang baca mengetahui saja, tapi tak mengerti dia akan perjalanan tadi. Ada orang membaca terus seolah-olah dia berhadapan dengan orangnya.


Karangan saya dibaca seolah-olah berhadapan dengan saya, sebab ini kata-kata dari mulut saya keluar ini. Dan risalah saya ini kan dua sejalan? Dipegang saja, tangan kita bergerak. Cubalah kalau tidak percaya, sebab dia hidup walaupun mati. Boleh dicuba. Biar orang tidak punyai pengetahuan kita, sendiri dia baca risalah, kata permulaan kutenung, kutenung pemecahan saya mengenai ilmu ghaib mengenal diri sendiri, dia nanti gementar; goyang tangannya.


Hendaknya kita belajar padanya. Sangat banyak selok-belok.
Sangat banyak pengertian. Sangat banyak kebolehannya. Dan untuk mengetahuinya satu per satu kebolehannya tadi, kita harus banyak mencubainya. Apa, seperti kita cuba, kita cubakan, bagaimana kalau begini?


Macam tadi malam, satu bidang, satu jurusan, saya katakan; bergerak tangan.
Bergerak mengehendaki supaya meningkat kehidupan kita, supaya kita seorang guru, kita terus naik pangkat. Naik pangkat, dia bertambah tinggi, ini.

Yang amat sulit rasanya, jalannya kehidupan kita itu, kita sulit berjalan, “Kaki, buka!”
Bukankah kaki yang berjalan, maka kita sampai? Ini falsafah-falsafah.


Atau macam saya bilang dapat memperlincahkan gerak kaki dan tangan. Bila waktu musuh menyerang dia automatik itu. Ini kita ingin untuk kita belajar bersilat.
Macam tadi malam kita gerak, kita ingat terus dia sendiri.
Hendak menari saya bilang, dia bawa menari. Ini kita dapat sampai mengerti betul hendaknya mendudukkan dia. Engkaukah yang aku atau akukah yang akan menjadi engkau? Antara yang dua tadi, ya dak?

Jadi ini pengetahuan, tidak macam orang biasa; apa harus dibaca, tidak?


* * *


Ini soal mengenal dan mengingat. Ingatlah kepada dia, supaya dia mengingat kita pula. Ingatlah kepada Tuhan supaya Tuhan mengingat kita pula. Mengenal-Nya, sudah cukup kita mengenal, sebab ada dia sudah kenal kepada-Nya. Dia bisa berbuat segala sesuatunya. Akan tetapi mustahil dia akan mencelakakan badan diri sendiri, kerana kita ingat pada dia, kita turutkan dia.


Mungkinkah dia kan mencelakakan badan diri sendiri setelah gerak ini? Itu tak makan di akal! Itu!

Kita cari pengalaman-pengalaman dalam hidup; dalam bidang kehidupan, dalam pergaulan, dalam masyarakat, dalam pekerjaan segala macamnya. Bukan di kantor kita harus bergerak! Tidak!

Asal ada saja macam saya bicara sekarang ini, dia automatik semua gerak-geri kita ini.
Tiap-tiap orang kita jumpa, ini pengalaman, seolah-olah orang itu terkejut, tertarik pada kita. Batinnya terbangun, dia berhadapan dengan seorang orang besar ini. Sebab kita bisa besar-besarkan diri kita dengan ilmu kita ini. Kita menjadi besar dipandang orang.


Kalau kita berlatih di rumah, bergerak ini membesarkan jiwa. Itu maka orang-orang yang kita hadapi segala macam, dia tertarik.

Antara di sini, orang sudah banyak kenal pada kita. Di Kuala Lumpur sana, belum lagi bawa barang kita ini. Ingat padanya, berubah stail kita ini.
Kalau diperhatikan bagaimana pandangan orang pada kita, adakalanya seolah-olah kita pernah berjumpa dengannya dia fikir.

Kita nggak tahu secara zahir, tapi dia sudah senyum. Dia angkat tangan, sebab batin dia yang kecil itu tertarik kepada yang besar ini.

Tidak ada orang yang akan berungut sama dia. Tidak! Pasti dia akan ketawa dan senang, tapi dengannya. Nya yang dimaksud ini ilmu yang berasa ini.

Ada pula orang memakai perkataannya dengan hawa nafsunya.
Itu setan iblis sudah bercampur. Jadi tidak betul. Cubalah bayangkan, dengan alam fikiran, dengan jalan ilmu pengetahuan kita ini melalui gerak-geri kita ini, macam  ikut sekarang macam biasa,


“Ehem… ehem... Sekarang antara kita sama kita di rumah, di sini, cakaplah mahu apa?”
“Selesaikan badan diriku.”
Dia automatik.
“Hmm... hmm... hmm…”
Tapi perhatian kita, ingatan kita, kita serahkan kepada rasa yang terasa itu.
“Hm... hm... hm...”
“Buka jalanku. Lapangkan segala jalan bagiku!”
Dibukakannya. Cuba! Dia ada berserta kita, apa lagi?
“Tunjukki! Lapangkan jalan. Lancarkan usahaku!”

Kalau kita seorang pedagang umpamanya, “Segala jalan kehidupanku, buka. Yang tak baik tolak!”
Cakap saja, dia berbuat.
“Hmm... hmm...”

Tapi lengkap segala gerak-geri hendaknya. Habis tangan, kalau dia berhenti terus, kaki. Sebab mesti lengkap ke seluruh badan.
“Bersihkan hatiku!”
Cuba cakap.
“Bersihkan pula alam sekelilingku.”
Tinggal kita, dia terus berbuat.
“Bawalah aku menghadap kepada yang Maha Kuasa, kepada Yang Maha Esa.”


Kita bergerak. Kita berlatih dengan pengetahuan kami ini.
Dengannya dapat kita kenal diri kita sendiri, dapat kita kenal akan Aku-nya kita tadi, yang hanya apa? Hanya satu noktah saja kita di sisi Tuhan. Nggak ada erti sedikit sebagai seorang hamba menghamba, menghamba kepada Yang Maha Kuasa, bukan kepada sesama manusia.

Tetapi jangan cuba-cuba, “Maniskan badan diriku. Cantikkan aku!”
Memang cantik nampaknya, atau manis ditengok orang. Tapi guna apa? Tentu kesudahannya lain akibatnya, tidak? Tapi jangan yang muda-muda. Buat apa? Merosak jadinya. Siti Hawa, ketawa dia.


Kan bisa jadi, saya katakan. Mohon-mohonlah kepada Tuhan, moga terbuka di segi lain pula. Di mana kesulitan rasanya jalan kehidupan kita, dengan ini kita lepaskan. Kalau-kalau ada halangan rintangan yang tidak baik dan segala-galanya, terus singkirkan, tolak, hindarkan; ertinya dibebaskannya dari badan diri kita ini.


Macam dikatakan tadi, ‘bersihkanlah alam sekelilingku’ ertinya alam dari alam kita sekarang ini, di luar segala macam disapu bersih samasekali dengan gerak kita.

Itu makanya, di mana kita berada, walau sampai pagi kita beramai-ramai macam ini, dengan suara kami macam ini, nggak jadi perhatian sama orang kiri kanan, muka, belakang. Sebab apa?
Tuhan yang Menentukan segala-galanya.

“Tidurlah engkau. Tidur.”
Tapi cuba kita ramai-ramai umpamanya, dengan tidak pengetahuan ini, bikin bising.
“Jaga itu orang!” katanya, tidak?
Tetapi, sudah beberapa kali saya ke sini, pernah orang mengatakan tidak senang? Sampai pagi, ramai terus. Ha! Itu. Itu Tuhan telah menentukan.

“Bukan urusan engkau. Tidur. Tidur. Kalau ada bahagianmu, datang.”
“Depa tanya, bila lagi Bapak nak mai?” kata Ismail Ibrahim.

Haa itu! Itu orang yang  tahu terima kasih. Kampung  ini terjaga.
Itu menandakan kebenaran jalan ilmu pengetahuan kita. Kalau orang lain, orang cina, dia nggak jadi perhatian dia di luar.

“Apa ini?”

Nggak mengatakan kita mengganggu. Orang nggak bisa tidur?
Tidak! Dia senang. Jadi gerak-geri yang automatik ini, sikit-sikit kita di rumah, di kantor, di office, dalam perjalanan, sikit-sikit alam sekeliling dapat kita ukur pada perasaan badan kita sendiri.


* * *


Jadi, kita kalau kita seorang bomoh, seorang tabib, doktor, taruhlah kita seorang doktor, mungkin kita lebih lagi sukses kita, kepandaian kita dari doktor. Doktor diperiksa segala macam, dia dengar. Dia begini, periksa darah. Ke sana, ke sana. Kita terus diubat.

“Sakit apa?”
“Ssssttt...”
“Boleh pulang? Bagaimana terasa? Baik atau tidak?”
Nggak lebih, kan? Kalau Tuhan mengizinkan, itu saya katakan.
Tapi yang salah bagaimana? Bagaimana cara nak mengubat ini ya?
Macam mana?

Kita tenang. Ini keluar dari rumah, ni sudah melihat tunjuk tu bergerak tidak diturutkan! Padahal tak mengerti.
“Ada apa ini?”

Bawa kereta, dia tunjuk-tunjuk itu kan? Itu jaga namanya. Jalan sendiri kita malam, di mana kubur ada hantu katanya, bukan? Dia bangun, pergi saja. Tapi kalau nggak ada ini, radar ini, mungkin berdiri bulu roma ini! Mahu lari kita! Tapi, ada dia ini, ditakuti setan  iblis! Maaf cakap, kalau kalian antara kita ini ada fikiran yang tidak baik, disingkirkannya!
Sekarang berubah orangnya itu.

Jadi saya sekarang, “Bagaimana? Bagaimana rasanya? Bagaimana sekarang? Bagaimana fikiran kita masing-masing? Berubah setelah ianukan? Bagaimana rasanya?”


* * *


Ini. Ini… ini sangat dalam ertinya ini.
Alif Lam Miim. Alif Lam Miim.
Cuba!
Allah. Muhammad. Telah berserta Allah dan Muhammad.
Terbuka juga kali ini. Alif Lam Miim; antara Allah dengan Muhammad, Jibril yang sampai menyampaikan. Cubalah bayangkan ini semua. Itu ilmu kita ini.
“Ameen!” katanya.

Itu pekerjaan ghaib. Tuhan semuanya.
Sebagai seorang Islam, kita baca dalam Quran, tapi tidak tahu kita. Hanya Allah yang tahu maksudnya, katanya Profesor Muhammad Yunus. Sedangkan kita bikin, kita dirikan Alif Lam Miim tadi. Alif Lam Miim. Siapa saja yang pegang mesti bergerak!

Percayalah! Di sini kita belajar hikmah apa yang terkandung dalam Alif Lam Miim tadi. Ini ilmu ghaib. Ini! Hanya Allah yang mengetahui maksudnya.

“Hmmm…”
Itu makanya kalau ikut jalan, kita ini, berdiri ini, Allah Berdiri.
Itu makanya setan iblis lari tunggang-langgang! Ingat! Awas! Tapi tidak kejam! Tidak! Dia baik, sangat baik!

Kalau kita seorang cikgu di sekolah, bukan?
“Anak murid, anak-anak…”
[Sambil memegang anak kunci.]
Hati-hati! Anak-anak, dengan begini dia melihat kita menunjuk dia, kita ketuk pintu hati anak-anak tadi, dia bangun, dia menerima.

Terbuka hatinya tadi menerima ajaran-ajaran kita. Jadi banyak saya katakan kebolehannya.


* * *


Jadi kita kembali. Jangan jadi takbur. Saya takut takbur.
Memang saya takutkan juga itu takbur. Walaupun akan terjadi perkataan takbur keluar dari mulut kita, kita menyombong atau apaapa, tapi janganlah hendaknya dengan sengaja, “Saya tidak takut
sama siapa!”

Itu tidak boleh! Walaupun bagaimana, bukan? Ya nggak? Sebab apa? Kita hidup di dunia ini bukan kita saja, berpuak-puak, bersuku-suku, berlain bangsa, bermasyarakat, bernegara. Kita mesti ada timbang rasa satu sama lain. Bukan kita saja jadi orang di dunia ini. Orang lain juga, walaupun bangsa lain, agama lain, tetapi dengan ilmu kita, kita kuasai, mereka tunduk, takluk segan sangka dia pada kita.

Bukan takut. Orang segan sangka pada kita. Hormat pada kita. Kalau takut ada lawannya. Terus ada orang gagah, tetap yang lain, yang lain dan seberani-berani orang juga, ada tentangannya, tidak?

Tetapi kebenaran, ke mana-mana, pada kita ini Ilmu Tuhan yang ada pada ini sekarang, di mana saja bumi kita yang pijak, Alhamdulillah. Ditampung kita ke mana-mana. Tetapi jangan lupa di diri tadi!


Di sini juga belum banyak berpengalaman yang berbahaya.
Belum banyak. Kalau saya, maaf cakap, kalau orang bisa lihat suratan yang telah terjadi di badan diri saya, orang yang pintar membaca barangkali banyak yang guling kepala, nggak tentu kalinya bahaya yang telah saya lalui segala macam. Atau orang dengan kepandaiannya, dengan ilmunya mengaung saya segala macam.


Cuba bayangkan, masuk Malaysia, Malaya ini sebelum pecah  jadi  Malaysia, saya sendiri  badan kecil  kurus macam  ini, sebelum orang mengenal pula saya dengan ilmu ini, cubalah bayang?


Apa, di sini tidak banyak orang ilmu kebatinan? Apa di sini tidak banyak orang ilmu sihir? Berapa banyak di sini? Tetapi kenyataan, saya tidak apa-apa. Tahu-tahunya saya pulang nanti, ya tak? Ini pada sobek (bekas luka) tempoh-tempoh. Lagi kita dalam perjalanan ini, sebab kita tak macam ilmu orang, kita, tidak?

Barangkali orang mencuba... bagaimana…
Datang di rumah, “Apa ini? Kenapa ini? Kenapa ini macam sobek kena pisau segala macam?”
Erti, orang pernah mencuba kita, tidak sampai ke badan, ke baju saja itu, jadi kita tidak ingat.


* * *


Tapi ini kebenaran tadi bagi ilmu pengetahuan ini, satu kenal dia pulang ke kampung dia cerita. Cerita. Cerita berkali-kali sampai orang mendengar nama saja.

“Saya ingin jumpa itu orang!”
Orang yang berilmu, yang tidak berilmu, yang berkepandaian, yang tidak berkepandaian, orang ingin. Sampai beberapa kalinya saya masuk sekarang ini, ke Malaysia ini. Jadi dengannya, kita telah bersertanya. Jangan ragu-ragu. Jangan takut-takut. Berbuatlah. Berjalanlah.


Tapi yang sering menghalangi kemajuan kita, yang acapkali memperlambat pengertian kita, alam fikiran ini; waswas, takut-takut, kalau-kalau.

Pernahkah kita perhatikan jalan ini? Ini jiwa, umpamanya perasaan hati, yang dikatakan dengan perasaan fikiran tadi, bertentangan satu sama lain, tidak?
“Ya!” kata hati.
“Tidak!” kata fikiran.
Pernah kami fikirkan itu.
Nggak sejalan ini.
 Jadi bagi kita,  segala persoalan kita kembali kepada pepatah-pepatah atau ajaran dari orang tua-tua.
“Segala persoalan, nak,” katanya, “letakkan di hujung kuku!”


Kontak terus sama ilmu kita, dia bangun selesaikannya semuanya. Kita tidak apa-apa, apa lagi? Kalau tadi siang sama kawan sama kerja di office segala macam kita dicaci atau begini, panas hati nggak lepas, kita tenang di rumah. Kita ingat kembali yang menyakitkan hati, yang menyakitkan fikiran, yang menyakitkan kepala. Kita ingat sampai dia, nanti ini bangun sendiri seolah-olah dia berucap, 
“Biar kami, atau aku menyelesaikannya!” katanya.

Kita lihat. Ringan kembali badan. Tetapi jangan fikir, “Wah! Saya belum anu, saya belum senang!” Kita bikin umpamanya, dengan sengaja, bukan?


Itu tidak betul! Sebab gerak yang sebenarnya gerak, pengetahuan kita ini tidak bersertakan hawa nafsu, atau gerak fikiran. Serahkan segala-gala kepadanya. Jadi bila kita sendirian di rumah, duduk macam saya ini, kan? Mana dulu rasanya? Kaki macam ini, bukan? Begini tangan terus begini sikit, sikit saja.



* * *


“Assalamualaikum!”
Wa’alaikummussalam! Silakan duduk.”
Automatik semuanya. Jadi orang biasa saja.
“Saya dengar, Bapak bisa menolong orang,” katanya.
Jadi kalau orang datang sama kita.
“Apa khabar? Saudara bisa menolong? Tolonglah, saya sakit.
Tangan saya begitu… begitu.”

Dia kontak. Bergeraklah melakukan pengubatan. Dan sebagai orang baru, nggak terus saja yang kita ubatkan terus sukses. Ada yang juga yang belum ada perubahan. Jadi, kita masih belajar atau pun kita masih terpengaruh bukan? Oleh alam fikiran kita?


* * *


Apa lagi kita akan cakapkan?
Dan pengalaman juga saya katakan. Peningkatan-peningkatan kita di sisi Tuhan, peningkatan kita dalam tambah, bertambahnya pengetahuan ini dengan banyaknya kita berbuat dan mengamalkannya. Bagaimana umpamanya saudara sendiri akan naik pangkat, kalau kerja dilihat tidak bagus? Di office hanya duduk saja pura-pura menulis. Tahu-tahu mahu naik gaji, tidak?

“Hmm?”
Ini juga di sisi Tuhan. Ke mana kita, kesanggupan kita mengamalkannya, automatik. Ini buku tutup saban tahun juga. Tetapi kita tidak tukang tenung, tukang ramal, walaupun tempoh-tempoh (kadang-kadang) kita boleh meramal, bisa meramal. Jadi,ini automatik.


* * *


Sekarang mari kita bersama-sama, kita bergerak. Kami bimbing malam ini bergerak dan kejayaan diri kita masing-masing, bukan dengan ucapan atau cakap-cakap yang berasalkan, berdasarkankepada rasa dan perasaan; rasa yang terpendam di hati masing-masing, yang tak ada salurannya tadi untuk keluar.

Dengan ilmunya kami ini, kami berikan, kami turunkan. Ertinya menyalur, memberi jalan keluar melalui tangan kiri, tangan kanan kita. Itu makanya diharuskan sebaik mungkin umpamanya, kita banyak bergerak, banyak bergerak, banyak bergerak, banyak bergerak.

Itulah kita, dapat mengetahui dengan beransur tapi teratur kebolehan-kebolehan daya gerak ini. Dengan beransur tapi teratur, dapat pula kita memahami akan hakikat dari ilmu pengetahuan ini.


Ilmu kita ini, dari tidak tahu tadinya sampai menjadi tahu. Dari tidak kenal tadinya sampai menjadi kenal. Dari tidak mengerti tadinya, sampai pada mengerti. Dari dalam tadinya, sampai bisa keluar melalui rasa yang telah terasa pada hujung-hujung jari kita sampai kami berikan penerangan-penerangan dan pengertian ertinya mengenai ilmu rohani; hakikat dari rohani, cetusan dari badan diri kita di dalam yang berasalkan pula dari satu noktah, suatu noktah, satu kata dalam Illahi yang kata-Nya, “Aku tiupkan roh-Ku!” kata-Nya.


Kalau bagi manusia ilmunya cara orang lama.
Kun!” kata Allah.
Faya kun,” kata Muhammad.
Maka jadi terjadilah.
Tapi kita di balik itu, yang dari ‘Aku tiup roh-Ku!’ kata-Nya.

Maka duduklah dia di tempatnya, dan dengan beradanya dia di dalam badan diri kita yang telah duduknya di tempatnya, maka berjalanlah kehidupan di dalam badan diri kita. Jantung kita mulai bergerak. Darah mulai mengalir, isi-isi dan segala urat-urat segalamacam dalam batang tubuh dan berjalanlah kehidupan di dalam badan diri kita.

Ini. Banyak manusia tak mahu mengenalnya. Begitu banyak manusia tak mahu tadi memikirkan tentang kehidupan di dalam badan diri sendiri, melainkan banyak, kebanyakan manusia bertitik-tolak dari kehidupan di luar dari badan diri sendiri, padahal kalau tak ada yang hidup dalam badan diri kita ini, bisakah kita berbuat dan berfikir dan segala-galanya?


* * *


Dan telah banyak pengalaman kita masing-masing, yang telah berkali-kali kami datang bergerak, mengerakkan, memperbaiki, dan segala macam. Dan ya, bagaimanalah saya sendiri akan mengatakannya, sebab keadaan bisa berubah-ubah? Alam berubah-ubah.

“Atau, mungkin juga… tapi, saya kira, tidak… saya percaya betul, ertinya dengan sekejap saya, saya datang, saya datang, saya datang ke mari mungkin akan membosankan pula bagi orang.

Tetapi saya yakin, tidak. Tetapi, kerana itu nggak apa salahnyasaya keluarkan… atau mungkin pula kita datang, kita datang, kita datang, kita datang, kita fikirkan dia punya ongkos. Itu segala, segala, segala, segala macam. Masalahnya, perasaan saya boleh keluarkan, tidak? Kita terus-terang…”

“Kita boleh keluarkan.”

“Tapi saya yakin, ertinya akan penerimaan kita sendiri masing-masing di sini… Tetapi sebagai orang luar, wajib tidak keluarkan perasaan saya begini. Sebab ini…Kalau datang hendaknya jangan sampai sering berulang-ulang datang ke mari, ke sini atau ke tempat lain, tempat yang telah ada saya tinggalkan ini ilmu pengetahuan.

Hendaknya, saya ingin supaya tekun, lekas boleh sampai dapat berdiri sendiri dan melakukan sendiri, berbuat sendiri atau mengerti padanya dan berbuat dengannya dan segala-galanya”.


Macam saya katakan tadi, pernah saya test di Kuala Lumpur.
Saya test di Johor. Saya test di Melaka, di Perak segala macam.
“Bagaimana saya ini?”

Dalam surat, saya kirimkan ke sini kan? Apa orang Penang masih ingin juga kalau saya sampai di sini? Itu percubaan. Saya test semuanya dengan perasaan saya sendiri. Ertinya, di segi lain, maaf cakap, bukan?

Jangan terlampau pula kita terasa apa pula. Saya sendiri merasakan diri saya tadi kelemahan-kelemahan. Saya paksakan juga macam sekarang ini datang. Saya paksakan bersiang, bermalam, menghadapi, memberikan apa yang pantas saya berikan, menggerakkan dan segala-galanya.


Tapi cubalah  tanya sama orang, bila saya kembali kepada kemanusiaan saya lemas, letih segala-gala. Tak berdaya. Itu menandakan, itu sama sekali, itu menandakan bahawa  keadaan badan diri tadi tidak mengizinkan lagi buat lama-lama cakap, lama-lama  bergerak, lama-lama kurang rehat dan segala macam.

Dan itu menandakan… menandakan… menandakan di masa yang akan datang, bukan? Ya nggak? Ertinya mungkin lebih lama saya akan datang di sini, walaupun saya ingin umpamanya, duduk lama di sini atau bagaimanalah...


* * *


Sebab, pengalaman saya sendiri, buat saya yang kurus kecil segala macam ini, di mana saja saya berpijak bumi Tuhan ini, insya-Allah saya ditampung.

Walaupun di tempat baru, ditampung, di terima kehadiran dan kedatangan saya.

Macam tahun 63, waktu konfrontasi dulu saya masuk ke Siam, saya tak mengerti bahasanya segala-gala. Petang kami datang, malam dihantar, ditumpang orang di rumah orang Malaya yang ada di sana. Hanya dua jam saja. Ada ada saja Tuhan dengan perantara, untuk memperkenalkan diri saya kepada orang ramai di sana. Apa yang terjadi?

Kami orang dua, orang tiga dengan yang menghantar. Yang dua tadi anak mudalah namanya, kan? Baru sampai sore (senja), sudah pergi jalan-jalan. Jalan lihat tengok-tengok kampung segala macam. Saya tinggal begitu saja di rumah. Di rumah ertinya di sana waktu itu rumah orang melayu, orang Perak, Malaysia di sini.

Pintu, jendela, apa apa ini belum ada pintunya. Ini segala semua dari batang-batang kayu itu, kan? Itu pengalaman saya. Hanya dengan tikar. Itu pun kalau angin ribut, masuk!

Tetapi, Tuhan  mentakdirkan ada saja waktu itu seorang anak dara kena gigit lipan. Lipan, tahu? Yang banyak kaki tu! Memekik-mekik, menangis-nangis. Diubat sama datuk-datuk, sama bomoh-bomoh nggak bisa baik. Ini perantaraan Tuhan.

“Seorang bomoh dari Indonesia. Cuba-cuba minta tolong.”
Baru dua tiga jam saya masuk kampung di Narathiwat, orang rumah itu tanya, “Bapak. Bapak bisa ubat?”
“Ubat apa?”
“Ada orang sakit digigit lipan!”
“Sini kan banyak bomoh. Itu soal mudah saja.”
“Dah dicuba. Tak baik.”
“Bawa sini! Gendonglah.”
Dibawa, bukan?
“Mana? Mana?”
Ditekan tempat gigit.
“Minta air. Air sejuk. Minum.”
Dia berhenti menangis. Tak apa-apa lagi.
“Luar biasa bomoh Indonesia! Dia tunjuk saja penyakit baik.”

Wah! Besoknya pada datang. Sudah datang terus saja sampai menyampaikan.


Menjadi pemikiran, apa sebab kami ditumpang di rumah? Kenapa tidak di hotel? Kami sudah kehabisan perbekalan, kehabisan ongkos (wang belanja). Politik waktu itu memandang orang melayu di sini sudah lain pandang kepada orang Indonesia, ya nggak?

Kami di sini orang merantau. Bagaimana hendak pulang, duit tidak ada? Di situlah makanya kami ditumpangkan pula sama orang Malaya yang ada di sana, di Narathiwat, yang tadi mula di Golok.

 Jadi mulai besok mengalir Bhat. Bhat, duit Siam tu. Lima Bhat, sepuluh Bhat, dua puluh Bhat, datang semuanya, apa tidak?

Apa… kami minta apa saja pada penghulu-penghulu di sana? Itu dengan perantaraan. Ada saja Tuhan tadi, memberi sesuatu, apa-apa untuk orang mengenal kita, untuk dapat pula hidup dan kehidupan segala macam.


Ini. Tenaga ini, sama-sekali bukan dari badan kita ini yang mengeluarkan.
Yang keluar dari hujung jari tadi, itu saja.
 Kita terbuka. Apalah kita ini? Hanya seorang ‘hamba Allahyang menjalankan tugas. Tuhan yang menentukan segala-galanya. Tak usah kita hiraukan bagaimana.


Nanti macam saya, bukan? Dari Indonesia, lagi. Baru sampai saya di Kuala Lumpur, saya telefon satu orang Cina.

“Nanti malam datang. Bapak suka makan durian?”
Dibawa sekali dua puluh biji. Cina itu; orang lain agama. Lain ya, tapi Tuhan yang menentukan segala-galanya.

Jadi saya ulangi lagi, kan? Saya ingin, saya ingin lebih lekas dapat memahami, mengerti dan membawa ilmu ini. Saya suruh turut gerak. Ikut. Ikut sampai berdiri sendiri. Dalam ertinya. Bukan sampai tegak saja. Ertinya, dalam segala hal kita praktik untuk kita berdiri sendiri hendaknya dengan tidak ditumpang. Ditolong juga, boleh bisa sanggup. Itu banyak ertinya ucapan-ucapan saya tadi.


Saya cuba men-test-kan. Ada yang akan bertanya atau umpamanya, semua sekali seolah-olah menutup mulut; tidak ada yang akan bertanya dan segala macam? Jadi, saya lihat, saya tengok, saya inginkan bagaimana supaya dapat pandai kita untuk berdiri sendiri, dari keakuanku jadi keakuanmu.

Ketentuan-ketentuan, semuanya dari Tuhan.


* * *


Walaupun saya menginginkan umpamanya, saya ingin hidup untuk sepuluh dua puluh tahun, tiga puluh tahun lagi umpamanya kalau Tuhan menjemput saya kembali dari sini atau bagaimana, kan? Jadi sama saja semuanya, tidak? Tapi ini yang saya idam-idamkan.


Saya harapkan, saya mahu, ya nggak? Bekas-bekas apa, jejak-jejak apa yang sudah ditanam terdiri di dalam bertambah, hendaknya bertambah sebab benih yang kami berikan benih padi.


Kalau di dalam Minangkabau sana, dikenal orang Padang, benih yang kami beri, yang saya berikan, yang saya sampaikan, yang saya taburkan di bumi Malaysia ini, benih padi. Di kampung saya, bernama padi itu, bernama ‘padi cinto kayo’; siapa mencintainya akan kaya.

Padi. Padi. Padi yang dinamakan ‘padi cinto kayo.’ Jadi siapa yang mencintainya, akan kaya.

Bagaimana saya mencitainya? Ertinya padi tadi, dia bertambah terus melebat, katanya, bukan? Ibarat setitik, kalau kita gunungkan, menggunung dia, sekepal dilautkan sehingga melaut dia ilmu ini.

Biji-biji tadi, benih-benih padi tadi, memang jadi banyak dia kalau kita tanam, kita tanam, kita tanam dan kita tanam. Dan padi yang banyak tadi, kalau kita hendak beras kita jemur, kita tumbuk, ya nggak? Kalau kita mahu  bikin kuih apa-apa, kita tumbuk jadi tepung. Mahu sedap pakai kelapa, pakai gula dan segala macam.

Jangan macam yang ditinggalkan orang; ‘Kalau berilmu ikutlah, tirulah ilmu padi, tambah berisi tunduk menjadi.’ Kan sampai di situ saja hikmah yang diajarkan, dikasi tahu kalau ilmu padi tambah berisi tunduk menjadi, bukan?

Perkembang ilmu itu, sebab tanam padi tadi banyak mendatangkan benih, dan menghasilkan  padi yang banyak. Padi tadi kita proses.

‘Ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan,’ seperti kata pepatah. Kan aneh namanya, tidak? Oleh kerana apa? Tidak mengerti tentang padi tadi. Tidak tahu bahawa padi itu akan menjadikan dia kaya, menjadikan dia boleh hidup. Tetapi, walaupun banyak kita punyai padi, kalau kita hendak makan, mahu makan dijemur, ditumbuk jadi beras. Kalau tidak tak kan dapat dia menolong kita.

Jadi, ilmu ini ilmu padi! Padi. Padi. Padi. Dalam ertinya. Saya katakan, benih umpamanya padi;

padi bernama padi cinta kaya,
siapa mencintainya akan menjadi kaya.


* * *


Macam siang tadi kami buka sedikit-sedikit;
Anak yang dikandung ibu yang mengandung
Yang zahir menunjukkan yang batin

Dari mana kita datang? Tempat keluar tadi? Dari rahim ibu, tidak? Dari rahim tempat kesayangan. Dan begitu pula kita, dari Rahim Allah. Kekasih Tuhan, kita semua ini.


Kan yang zahir menunjukkan yang batin? Daripada yang zahir  ini datangnya, tahu  betul kita dari rahim ibu. Yang batin ini, yang ghaib ini, ini yang menghidupkan dengan sendirinya, dari Rahim dari Yang Maha Ghaib, apa tidak?

Jadi, untuk itu makanya yang ghaib di dalam ini automatik, kalau pintu telah terbuka. Kita kekasih Tuhan, sebab dia dari Rahim-Nya datangnya, tidak?

Dari Rahim dan Rahmat-Nya? Jadi itu makanya, kita memerlukan banyak pengalaman-pengalaman.


* * *


Saya dengar orang di sini kalau saya telah pergi, atau bagaimana agaknya?
“Bapak, apa dia cakap, jadi. Sedangkan kita tidak!”

Berdirilah pada yang ghaib tadi. Pintu telah terbuka. Jadi kekasih-Nya, kekasih-Nya, kekasih-Nya, kekasih dari Yang Maha Pengasih.

Mana yang telah berumahtangga, punya anak yang dikasihinya, kalau anak yang meminta diberinya atau tidak?

Cubalah bayangkan. Itu antara manusia saja baru.
Ini… itu, kita dapat rasakan betul umpamanya pancaran... pintu telah terbuka, hijab telah terbuka sudah. Pintu rumah kita yang tertutup tadi, dengan izin Yang Maha Kuasa telah terbuka. Kita memohon kepada-Nya. Ikut saja. Mulut kita sendiri pula nanti yang menjawab.

Insya-Allah!” katanya, “Makbul,” katanya.

Jadi, kalau kita mahu mengembalikan segala-galanya, penerangan-penerangan saya, ajaran-ajaran saya, ucapan-ucapan saya lain tidak, itu ke itu itu juga. Cuma temanya, caranya, bercampur-aduk, berlain-lain. Di dalam pengertian, dalam tujuan, sebenarnya barang itu itu juga.


Dan untuk menghadapi hidup dengan dia, nggak usah kita ragu-ragu. Terjadi umpama apa saja clash perang dunia apa-apa, ingatlah kepadanya. Ke mana kita pergilah! Insya-Allah. Mudah-mudahan.

Sebab kita selalu berdampingan dengannya.
Tetapi ilmu ini ilmu mengenalnya. Mengingat. Mengenal.

“Ingatlah kepadaku,” katanya, “supaya aku mengingatmu pula.”
Tuhan itu pun kita yakin selalu mengingat-Nya, baru Dia mengingat kita. Kalau kita tidak mengingat-Nya tentu Dia tidak akan mengingat kita, tidak?

“Hmm...”
Cubalah bayangkan perkataan-perkataan saya. Camkan.
Fikirkan. Katanya mengingat, mengenal.
Bila diingat dia, tentu kita diingatnya pula. Cubalah dianukan… tangkap pengertian.
.Ambil bagaimana, dengan pengertian secara kecilnya, secara besarnya.

Bagaimana bila engkau mengingat aku, aku akan mengingat engkau pula, tidak?
Cubalah.
Bayangkan kebolehan-kebolehan kita dengan ucapan-ucapan melalui pengetahuan kita ini.
Tapi kalau telah faham pula, “Wah! Kalau begitu, ini boleh saja begitu… begitu…”

Tetapi berbuat baiklah. Kita tersuruh berbuat baik.
Tetapi kalau kita hendak merosak anak dara orang, kita ingat kepadanya, kita ingat, kita kenang, kita ingat dia, pasti dia akan mengingat kita pula. Tahu-tahu kita tunggu bagaimana pengakuannya.

“Tak boleh tidur. Aku ingat pada abang,” katanya.
“Ah! Masa bodoh! Buat apa? Ah…”
Itu salah kita. Sudah kita ingat dia, kita ingat sampai dia menyerah.
“Aku tak boleh tidur. Abang terbayang sama aku. Aku mahu engkau.”
Habis cerita. Maka itu aku ingat engkau! Terserah pada orang tua lagi bukan?
“Itu orang tua saya,” katanya.
Sampai gitu. Omong saya mesti ditangkap, bagaimana? Saya tidak akan mengatakan, mencurahkan, sampai ke...


“Ingatlah kepada-Ku,” kata-Nya supaya “Aku Mengingat engkau pula.”
Itu Ilmu Tuhan, saya bilangkan. Tuhan tu bila kita ingat kepada- Nya tentu Dia Ingat pula kepada kita.

Ini yang saya inginkan;  pengertian-pengertian, tangkapan-tangkapan macam ini. Sebab kita tidak belajar di sekolah rendah begitu kan? Dua tambah dua dihafal, dua tambah tiga, dua, tiga, empat, lima. Tidak!

Kita di university ini! Tinggal membuat scription (melakukan) saja. Mahu jadi doktor? Mahu jadi engineer? Mahu jadi apa? Tukang apa?

Cuba, Si Kadir duduk sini, kan? Terus ingat seolah-olah didudukkan diri ini di rumah. Si zah apa-apa, rasanya dia (Kadir) ada di sini saja!

Itu soal mengingat, saya bilang. Dan istilah ketuhanan, makrifat tadi putus sudah oleh kerana pintu terbuka. Tidak halangan apa-apa. Ibarat kita tunjuk macam ini, tunjuk macam ini bisa sampai. Saya ingat macam ini dengan otak kepala saya, kena kan? Tidak? Apa lagi macam ini?

Soal ini soal makrifat, segala hakikat segala macam.
Itu orang dulu-dulu, “Tunggu sebentar nak. Saya mahu pergi ke Mekah, sembahyang.”
Sebentar.

“Salam mualaikum…”
“Wa’alaikummussalam.”

Ya, kembali lagi. Sudah pulang. Tentu orang tak akan percaya sebentar kita ada di sana, sebentar kita di sana.

Jadi untuk mencubanya saya bilang, kita adakan test macam saya bilangkan tadi.

“Kita pulang sekejap ke rumah.”

Ikut saja gerak itu datang, sampai kita ke sana. Tangan kita pegang ini, pegang ini, itu dia sendiri saja. Nanti orang rumah, “Ah! Bila dia balik? Dia pergi tadi.”

Itu juga kalau kita mengubat anak, ubat kita, mengubat orang.
Dia mesti pernah mimpi kita mendatangi dia menolong malam-malam.



(Tarikh dan tempat selesai transkrip tidak dicatatkan.)



.

No comments:

Post a Comment