🌼 Kuliah 5 🌼
Bagan Jermal, Pulau Pinang
17 & 18 Januari 1974
Sanggupkah orang menentangnya?
Cuba kita bayangkan!
Tapi jangan diiktikad tadi
bahawa kitalah itu yang Allah. Itu salah dalam pendirian! Tapi jangan terlampau
ke situ kita berfikir.
* * *
Kita tuntut ilmu. Kita cari
ilmu. Kita punya dan kita yakin akan kebenarannya. Bawakan. malkan. Jalankan. Macam saya berikan contoh,
bukan? Ibarat perjalanan Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Terutama yang
dikehendaki oleh Nabi Khidir tadi sabar. Nabi Musa tadi dapat perintah, pengetahuan
dari Tuhan bahawa, “Ada seorang hamba-Ku
yang telah Ku-ajarkan ilmu pengetahuan.”
Disuruh Nabi Musa mencari Nabi
Khidir di suatu tempat dengan petunjuk Tuhan untuk belajar ilmu pengetahuan
padanya. Setelah dia jumpa, terutama apa katanya Nabi Allah Khidir tadi?
“Engkau tak akan sabar berserta aku.”
Perkataan itu harus hendaknya menjadi
renungan pada kita.
‘Engkau tak akan sabar berserta aku.’
Dikehendaki sabar. Bila kitaberbuat sekarang gerak kita yang di luar ini hanya
menurutkan saja dengan tenang dan sabar. Kalau ada orang mengatakan itu...
itu.... itu.... itu jangan marah. Sabar. Sabar. Sabar. Sabar.
Dan antara lain katanya, kan?
“Engkau kalau belajar sama aku harus
berjalan berserta aku. Ikut aku berjalan. Berjalan berserta aku dan dalam
perjalanan apa-apa yang aku buat, engkau tak boleh tanya. Lihat saja. Nanti
satu masa, satu waktu, selepas selesai atau kembali di tempat perhentian
perjalanan pengembaraan kita, engkau boleh tanya apa yang telah aku lakukan.”
Kita harus halus-halusi itu lahir dan
batin.
Bagaimana ingatan sekarang kalau saya
katakan perjalanan gerak, perjalanan kita ini seolah-olah perjalanan Nabi Musa
dengan Nabi Khidir? Saya tak mengatakan ini Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Seolah-olah, seperti atau
seakan-akan. Dan telah banyak berpengalaman, dalam pengetahuan ini gerak, isi
yang di dalam itu yang berbuat, yang di luar ini yang menurutkan, tidak?
Jadi yang kita yang ini menurutkan, tidak?
Dia yang berbuat. Kan dia yang berbuat? Yang di luar atau yang dalam yang
berbuat ini? Yang lahir atau yang batin? Atau dua sejalan, bukan? Jadi yang di
dalam itu, dia yang berbuat. Kita ini, aku ini, yang menurut saja!
Dicekik anak kecil sampai mati. Jadi, kalau
bohong kisah yang saya buka ini, buka surat al-Kahfi, 60 sampai 82, hanya kepada
yang tahu menterjemahnya riwayat Nabi Musa dengan Nabi Khidir.
Ada terjemahan bahasa melayu ka… bahasa
Indonesia, pelajarilah.
Kita tenung, kita menungkan. Ibarat satu, semua orang bisa
membaca, tapi tak semua dapat menangkap hikmah yang terkandung padanya. Semua
bisa baca. Ada orang yang baca mengetahui saja, tapi tak mengerti dia akan
perjalanan tadi. Ada orang membaca terus seolah-olah dia berhadapan dengan
orangnya.
Karangan saya dibaca seolah-olah berhadapan
dengan saya, sebab ini kata-kata dari mulut saya keluar ini. Dan risalah saya
ini kan dua sejalan? Dipegang saja, tangan kita bergerak. Cubalah kalau tidak
percaya, sebab dia hidup walaupun mati. Boleh dicuba. Biar orang tidak punyai
pengetahuan kita, sendiri dia baca risalah, kata permulaan kutenung, kutenung
pemecahan saya mengenai ilmu ghaib mengenal diri sendiri, dia nanti gementar;
goyang tangannya.
Hendaknya kita belajar padanya. Sangat
banyak selok-belok.
Sangat banyak pengertian. Sangat banyak
kebolehannya. Dan untuk mengetahuinya satu per satu kebolehannya tadi, kita
harus banyak mencubainya. Apa, seperti kita cuba, kita cubakan, bagaimana kalau
begini?
Macam tadi malam, satu bidang, satu
jurusan, saya katakan; bergerak tangan.
Bergerak mengehendaki supaya meningkat kehidupan
kita, supaya kita seorang guru, kita terus naik pangkat. Naik pangkat, dia
bertambah tinggi, ini.
Yang amat sulit rasanya, jalannya kehidupan
kita itu, kita sulit berjalan, “Kaki, buka!”
Bukankah kaki yang berjalan, maka kita
sampai? Ini falsafah-falsafah.
Atau macam saya bilang dapat memperlincahkan
gerak kaki dan tangan. Bila waktu musuh menyerang dia automatik itu. Ini kita
ingin untuk kita belajar bersilat.
Macam tadi malam kita gerak, kita ingat
terus dia sendiri.
Hendak menari saya bilang, dia bawa menari.
Ini kita dapat sampai mengerti betul hendaknya mendudukkan dia. Engkaukah yang
aku atau akukah yang akan menjadi engkau? Antara yang dua tadi, ya dak?
Jadi ini pengetahuan, tidak
macam orang biasa; apa harus dibaca, tidak?
* * *
Ini soal mengenal dan
mengingat. Ingatlah kepada dia, supaya dia mengingat kita pula. Ingatlah kepada
Tuhan supaya Tuhan mengingat kita pula. Mengenal-Nya, sudah cukup kita
mengenal, sebab ada dia sudah kenal
kepada-Nya. Dia bisa berbuat segala sesuatunya. Akan tetapi mustahil dia akan
mencelakakan badan diri sendiri, kerana kita ingat pada dia, kita turutkan dia.
Mungkinkah dia kan mencelakakan
badan diri sendiri setelah gerak ini? Itu tak makan di akal! Itu!
Kita cari pengalaman-pengalaman
dalam hidup; dalam bidang kehidupan, dalam pergaulan, dalam masyarakat, dalam
pekerjaan segala macamnya. Bukan di kantor kita harus bergerak! Tidak!
Asal ada saja macam saya bicara
sekarang ini, dia automatik semua gerak-geri kita ini.
Tiap-tiap orang kita jumpa, ini
pengalaman, seolah-olah orang itu terkejut, tertarik pada kita. Batinnya
terbangun, dia berhadapan dengan seorang orang besar ini. Sebab kita bisa
besar-besarkan diri kita dengan ilmu kita ini. Kita menjadi besar dipandang
orang.
Kalau kita berlatih di rumah,
bergerak ini membesarkan jiwa. Itu maka orang-orang yang kita hadapi segala
macam, dia tertarik.
Antara di sini, orang sudah
banyak kenal pada kita. Di Kuala Lumpur sana, belum lagi bawa barang kita ini.
Ingat padanya, berubah stail kita ini.
Kalau diperhatikan bagaimana
pandangan orang pada kita, adakalanya seolah-olah kita pernah berjumpa
dengannya dia fikir.
Kita nggak tahu secara zahir, tapi dia
sudah senyum. Dia angkat tangan, sebab batin dia yang kecil itu tertarik kepada
yang besar ini.
Tidak ada orang yang akan berungut sama
dia. Tidak! Pasti dia akan ketawa dan senang, tapi dengannya. Nya yang dimaksud
ini ilmu yang berasa ini.
Ada pula orang memakai perkataannya dengan
hawa nafsunya.
Itu setan iblis sudah bercampur. Jadi tidak
betul. Cubalah bayangkan, dengan alam fikiran, dengan jalan ilmu pengetahuan kita
ini melalui gerak-geri kita ini, macam ikut sekarang macam biasa,
“Ehem… ehem... Sekarang antara kita sama kita di rumah, di sini, cakaplah mahu apa?”
“Ehem… ehem... Sekarang antara kita sama kita di rumah, di sini, cakaplah mahu apa?”
“Selesaikan badan diriku.”
Dia automatik.
“Hmm... hmm... hmm…”
Tapi perhatian kita, ingatan kita, kita
serahkan kepada rasa yang terasa itu.
“Hm... hm... hm...”
“Buka jalanku. Lapangkan segala jalan
bagiku!”
Dibukakannya. Cuba! Dia ada berserta kita,
apa lagi?
“Tunjukki! Lapangkan jalan. Lancarkan
usahaku!”
Kalau kita seorang pedagang umpamanya,
“Segala jalan kehidupanku, buka. Yang tak baik tolak!”
Cakap saja, dia berbuat.
“Hmm... hmm...”
Tapi lengkap segala gerak-geri hendaknya.
Habis tangan, kalau dia berhenti terus, kaki. Sebab mesti lengkap ke seluruh
badan.
“Bersihkan hatiku!”
Cuba cakap.
“Bersihkan pula alam sekelilingku.”
Tinggal kita, dia terus berbuat.
“Bawalah aku menghadap kepada yang Maha
Kuasa, kepada Yang Maha Esa.”
Kita bergerak. Kita berlatih dengan
pengetahuan kami ini.
Dengannya dapat kita kenal diri kita
sendiri, dapat kita kenal akan Aku-nya kita tadi, yang hanya apa? Hanya satu
noktah saja kita di sisi Tuhan. Nggak ada erti sedikit sebagai seorang hamba menghamba, menghamba kepada Yang Maha
Kuasa, bukan kepada sesama manusia.
Tetapi jangan cuba-cuba, “Maniskan badan
diriku. Cantikkan aku!”
Memang cantik nampaknya, atau manis
ditengok orang. Tapi guna apa? Tentu kesudahannya lain akibatnya, tidak? Tapi
jangan yang muda-muda. Buat apa? Merosak jadinya. Siti Hawa, ketawa dia.
Kan bisa jadi, saya katakan. Mohon-mohonlah
kepada Tuhan, moga terbuka di segi lain pula. Di mana kesulitan rasanya jalan kehidupan
kita, dengan ini kita lepaskan. Kalau-kalau ada halangan rintangan yang tidak baik dan
segala-galanya, terus singkirkan, tolak, hindarkan; ertinya dibebaskannya dari
badan diri kita ini.
Macam dikatakan tadi, ‘bersihkanlah alam
sekelilingku’ ertinya alam dari alam kita sekarang ini, di luar segala macam
disapu bersih samasekali dengan gerak kita.
Itu makanya, di mana kita berada, walau
sampai pagi kita beramai-ramai macam ini, dengan suara kami macam ini, nggak jadi
perhatian sama orang kiri kanan, muka, belakang. Sebab apa?
Tuhan yang Menentukan segala-galanya.
“Tidurlah engkau. Tidur.”
Tapi cuba kita ramai-ramai umpamanya, dengan tidak pengetahuan ini, bikin bising.
“Jaga itu orang!” katanya,
tidak?
Tetapi, sudah beberapa kali
saya ke sini, pernah orang mengatakan tidak senang? Sampai pagi, ramai terus.
Ha! Itu. Itu Tuhan telah menentukan.
“Bukan urusan engkau.
Tidur. Tidur. Kalau ada bahagianmu, datang.”
“Depa tanya, bila lagi Bapak
nak mai?” kata Ismail Ibrahim.
Haa itu! Itu orang yang tahu terima kasih. Kampung ini terjaga.
Itu menandakan kebenaran jalan
ilmu pengetahuan kita. Kalau orang lain, orang cina, dia nggak jadi perhatian
dia di luar.
“Apa ini?”
Nggak mengatakan kita
mengganggu. Orang nggak bisa tidur?
Tidak! Dia senang. Jadi
gerak-geri yang automatik ini, sikit-sikit kita di rumah, di kantor, di office, dalam perjalanan, sikit-sikit alam sekeliling dapat kita ukur pada
perasaan badan kita sendiri.
* * *
Jadi, kita kalau kita seorang
bomoh, seorang tabib, doktor, taruhlah kita seorang doktor, mungkin kita lebih
lagi sukses kita, kepandaian kita dari doktor. Doktor diperiksa segala macam,
dia dengar. Dia begini, periksa darah. Ke sana, ke sana. Kita terus diubat.
“Sakit apa?”
“Ssssttt...”
“Boleh pulang? Bagaimana
terasa? Baik atau tidak?”
Nggak lebih, kan? Kalau Tuhan
mengizinkan, itu saya katakan.
Tapi yang salah bagaimana? Bagaimana cara nak
mengubat ini ya?
Macam mana?
Kita tenang. Ini keluar dari rumah,
ni sudah melihat tunjuk tu bergerak tidak diturutkan! Padahal tak mengerti.
“Ada apa ini?”
Bawa kereta, dia tunjuk-tunjuk
itu kan? Itu jaga namanya. Jalan sendiri kita malam, di mana kubur ada hantu
katanya, bukan? Dia bangun, pergi saja. Tapi kalau nggak ada ini, radar ini,
mungkin berdiri bulu roma ini! Mahu lari kita! Tapi, ada dia ini, ditakuti setan
iblis! Maaf cakap, kalau kalian antara
kita ini ada fikiran yang tidak baik, disingkirkannya!
Sekarang berubah orangnya itu.
Jadi saya sekarang, “Bagaimana?
Bagaimana rasanya? Bagaimana sekarang? Bagaimana fikiran kita masing-masing?
Berubah setelah ianukan? Bagaimana rasanya?”
* * *
Ini. Ini… ini sangat dalam
ertinya ini.
Alif Lam Miim. Alif
Lam Miim.
Cuba!
Allah. Muhammad.
Telah berserta Allah dan Muhammad.
Terbuka juga kali ini. Alif Lam Miim; antara Allah dengan Muhammad, Jibril yang sampai
menyampaikan. Cubalah bayangkan ini semua. Itu ilmu kita ini.
“Ameen!” katanya.
Itu pekerjaan ghaib. Tuhan
semuanya.
Sebagai seorang Islam, kita
baca dalam Quran, tapi tidak tahu kita. Hanya Allah yang tahu maksudnya,
katanya Profesor Muhammad Yunus. Sedangkan kita bikin, kita dirikan Alif Lam Miim tadi. Alif Lam Miim. Siapa saja yang pegang mesti bergerak!
Percayalah! Di sini kita
belajar hikmah apa yang terkandung dalam Alif Lam Miim tadi.
Ini ilmu ghaib. Ini! Hanya Allah yang mengetahui maksudnya.
“Hmmm…”
Itu makanya kalau ikut jalan,
kita ini, berdiri ini, Allah Berdiri.
Itu makanya setan iblis lari
tunggang-langgang! Ingat! Awas! Tapi tidak kejam! Tidak! Dia baik, sangat baik!
Kalau kita seorang cikgu di
sekolah, bukan?
“Anak murid, anak-anak…”
[Sambil memegang anak kunci.]
Hati-hati! Anak-anak, dengan
begini dia melihat kita menunjuk dia, kita ketuk pintu hati anak-anak tadi, dia
bangun, dia menerima.
Terbuka hatinya tadi menerima
ajaran-ajaran kita. Jadi banyak saya katakan kebolehannya.
* * *
Jadi kita kembali. Jangan jadi
takbur. Saya takut takbur.
Memang saya takutkan juga itu
takbur. Walaupun akan terjadi perkataan takbur keluar dari mulut kita, kita
menyombong atau apaapa, tapi janganlah hendaknya dengan sengaja, “Saya tidak
takut
sama siapa!”
Itu tidak boleh! Walaupun
bagaimana, bukan? Ya nggak? Sebab apa? Kita hidup di dunia ini bukan kita saja,
berpuak-puak, bersuku-suku, berlain bangsa, bermasyarakat, bernegara. Kita
mesti ada timbang rasa satu sama lain. Bukan kita saja jadi orang di dunia ini.
Orang lain juga, walaupun bangsa lain, agama lain, tetapi dengan ilmu kita,
kita kuasai, mereka tunduk, takluk segan sangka dia pada kita.
Bukan takut. Orang segan sangka
pada kita. Hormat pada kita. Kalau takut ada lawannya. Terus ada orang gagah,
tetap yang lain, yang lain dan seberani-berani orang juga, ada tentangannya,
tidak?
Tetapi kebenaran, ke mana-mana,
pada kita ini Ilmu Tuhan yang ada pada ini sekarang, di mana saja bumi kita yang
pijak, Alhamdulillah. Ditampung kita ke mana-mana. Tetapi jangan lupa di
diri tadi!
Di sini juga belum banyak
berpengalaman yang berbahaya.
Belum banyak. Kalau saya, maaf
cakap, kalau orang bisa lihat suratan yang telah terjadi di badan diri saya,
orang yang pintar membaca barangkali banyak yang guling kepala, nggak tentu kalinya
bahaya yang telah saya lalui segala macam. Atau orang dengan kepandaiannya,
dengan ilmunya mengaung saya segala macam.
Cuba bayangkan, masuk Malaysia,
Malaya ini sebelum pecah jadi Malaysia, saya sendiri badan kecil kurus macam ini, sebelum orang mengenal pula saya dengan
ilmu ini, cubalah bayang?
Apa, di sini tidak banyak orang
ilmu kebatinan? Apa di sini tidak banyak orang ilmu sihir? Berapa banyak di
sini? Tetapi kenyataan, saya tidak apa-apa. Tahu-tahunya saya pulang nanti, ya tak? Ini pada sobek (bekas
luka) tempoh-tempoh. Lagi kita dalam perjalanan ini, sebab kita tak macam ilmu
orang, kita, tidak?
Barangkali orang mencuba...
bagaimana…
Datang di rumah, “Apa ini?
Kenapa ini? Kenapa ini macam sobek kena pisau segala macam?”
Erti, orang pernah mencuba
kita, tidak sampai ke badan, ke baju saja itu, jadi kita tidak ingat.
* * *
Tapi ini kebenaran tadi bagi ilmu pengetahuan ini,
satu kenal dia pulang ke kampung dia cerita. Cerita.
Cerita berkali-kali sampai orang mendengar nama saja.
“Saya ingin jumpa itu orang!”
Orang yang berilmu, yang tidak berilmu,
yang berkepandaian, yang tidak berkepandaian, orang ingin. Sampai beberapa
kalinya saya masuk sekarang ini, ke Malaysia ini. Jadi dengannya, kita telah bersertanya. Jangan ragu-ragu. Jangan
takut-takut. Berbuatlah. Berjalanlah.
Tapi yang sering menghalangi kemajuan kita,
yang acapkali memperlambat pengertian kita, alam fikiran ini; waswas, takut-takut,
kalau-kalau.
Pernahkah kita perhatikan jalan ini? Ini jiwa,
umpamanya perasaan hati, yang dikatakan dengan perasaan fikiran tadi,
bertentangan satu sama lain, tidak?
“Ya!” kata hati.
“Tidak!” kata fikiran.
Pernah kami fikirkan itu.
Nggak sejalan ini.
Jadi
bagi kita, segala persoalan kita kembali
kepada pepatah-pepatah atau ajaran dari orang tua-tua.
“Segala persoalan, nak,” katanya, “letakkan
di hujung kuku!”
Kontak terus sama ilmu kita, dia bangun
selesaikannya semuanya. Kita tidak apa-apa, apa lagi? Kalau tadi siang sama kawan
sama kerja di office segala macam kita dicaci atau begini, panas hati nggak lepas,
kita tenang di rumah. Kita ingat kembali yang menyakitkan hati, yang
menyakitkan fikiran, yang menyakitkan kepala. Kita ingat sampai dia, nanti ini
bangun sendiri seolah-olah dia berucap,
“Biar kami, atau aku menyelesaikannya!” katanya.
“Biar kami, atau aku menyelesaikannya!” katanya.
Kita lihat. Ringan kembali badan. Tetapi
jangan fikir, “Wah! Saya belum anu, saya belum senang!” Kita bikin umpamanya, dengan
sengaja, bukan?
Itu tidak betul! Sebab gerak yang sebenarnya gerak, pengetahuan kita ini tidak bersertakan
hawa nafsu, atau gerak fikiran.
Serahkan segala-gala kepadanya. Jadi bila kita sendirian di rumah, duduk macam
saya ini, kan? Mana dulu rasanya? Kaki macam ini, bukan? Begini tangan terus
begini sikit, sikit saja.
* * *
“Assalamualaikum!”
“Wa’alaikummussalam! Silakan duduk.”
Automatik semuanya. Jadi orang
biasa saja.
“Saya dengar, Bapak bisa
menolong orang,” katanya.
Jadi kalau orang datang sama
kita.
“Apa khabar? Saudara bisa
menolong? Tolonglah, saya sakit.
Tangan saya begitu… begitu.”
Dia kontak. Bergeraklah
melakukan pengubatan. Dan sebagai orang baru, nggak terus saja yang kita
ubatkan terus sukses. Ada yang juga yang belum ada perubahan. Jadi, kita masih
belajar atau pun kita masih terpengaruh
bukan? Oleh alam fikiran kita?
* * *
Apa lagi kita akan cakapkan?
Dan pengalaman juga saya
katakan. Peningkatan-peningkatan kita di sisi Tuhan, peningkatan kita dalam
tambah, bertambahnya pengetahuan ini dengan banyaknya kita berbuat dan mengamalkannya.
Bagaimana umpamanya saudara sendiri akan naik pangkat, kalau kerja dilihat
tidak bagus? Di office hanya duduk saja pura-pura menulis. Tahu-tahu mahu
naik gaji, tidak?
“Hmm?”
Ini juga di sisi Tuhan. Ke mana
kita, kesanggupan kita mengamalkannya, automatik. Ini buku tutup saban tahun
juga. Tetapi kita tidak tukang tenung, tukang ramal, walaupun tempoh-tempoh (kadang-kadang) kita boleh
meramal, bisa meramal. Jadi,ini automatik.
* * *
Sekarang mari kita
bersama-sama, kita bergerak. Kami bimbing malam ini bergerak dan kejayaan diri
kita masing-masing, bukan dengan ucapan atau cakap-cakap yang berasalkan,
berdasarkankepada rasa dan perasaan; rasa yang terpendam di hati masing-masing,
yang tak ada salurannya tadi untuk keluar.
Dengan ilmunya kami ini, kami
berikan, kami turunkan. Ertinya menyalur, memberi jalan keluar melalui tangan
kiri, tangan kanan kita. Itu makanya diharuskan sebaik mungkin umpamanya, kita
banyak bergerak, banyak bergerak, banyak bergerak, banyak bergerak.
Itulah kita, dapat mengetahui
dengan beransur tapi teratur kebolehan-kebolehan daya gerak ini. Dengan
beransur tapi teratur, dapat pula kita memahami akan hakikat dari ilmu
pengetahuan ini.
Ilmu kita ini, dari tidak tahu
tadinya sampai menjadi tahu. Dari tidak kenal tadinya sampai menjadi kenal.
Dari tidak mengerti tadinya, sampai pada mengerti. Dari dalam tadinya, sampai
bisa keluar melalui rasa yang telah terasa pada hujung-hujung jari kita sampai
kami berikan penerangan-penerangan dan pengertian ertinya mengenai ilmu rohani;
hakikat dari rohani, cetusan dari badan diri kita di dalam yang berasalkan pula
dari satu noktah, suatu noktah, satu kata dalam Illahi yang kata-Nya, “Aku
tiupkan roh-Ku!” kata-Nya.
Kalau bagi manusia ilmunya cara
orang lama.
“Kun!” kata Allah.
“Faya kun,” kata Muhammad.
Maka jadi terjadilah.
Tapi kita di balik itu, yang
dari ‘Aku tiup roh-Ku!’ kata-Nya.
Maka duduklah dia di tempatnya,
dan dengan beradanya dia di dalam badan diri kita yang telah duduknya di
tempatnya, maka berjalanlah kehidupan di dalam badan diri kita. Jantung kita
mulai bergerak. Darah mulai mengalir,
isi-isi dan segala urat-urat segalamacam dalam batang tubuh dan berjalanlah
kehidupan di dalam badan diri kita.
Ini. Banyak manusia tak mahu
mengenalnya. Begitu banyak manusia tak mahu tadi memikirkan tentang kehidupan
di dalam badan diri sendiri, melainkan banyak, kebanyakan manusia bertitik-tolak
dari kehidupan di luar dari badan diri sendiri, padahal kalau tak ada yang
hidup dalam badan diri kita ini, bisakah kita berbuat dan berfikir dan
segala-galanya?
* * *
Dan telah banyak pengalaman
kita masing-masing, yang telah berkali-kali kami datang bergerak, mengerakkan,
memperbaiki, dan segala macam. Dan ya, bagaimanalah saya sendiri akan mengatakannya, sebab keadaan
bisa berubah-ubah? Alam berubah-ubah.
“Atau, mungkin juga…
tapi, saya kira, tidak… saya percaya betul, ertinya dengan sekejap saya, saya
datang, saya datang, saya datang ke mari mungkin akan membosankan pula bagi orang.
Tetapi saya yakin,
tidak. Tetapi, kerana itu nggak apa salahnyasaya keluarkan… atau mungkin pula
kita datang, kita datang, kita datang,
kita datang, kita fikirkan dia punya ongkos. Itu segala, segala, segala, segala
macam. Masalahnya, perasaan saya boleh keluarkan, tidak? Kita terus-terang…”
“Kita boleh keluarkan.”
“Tapi saya yakin, ertinya akan
penerimaan kita sendiri masing-masing di sini… Tetapi sebagai orang luar, wajib
tidak keluarkan perasaan saya begini. Sebab ini…Kalau datang hendaknya jangan sampai
sering berulang-ulang datang ke mari, ke sini atau ke tempat lain, tempat yang
telah ada saya tinggalkan ini ilmu pengetahuan.
Hendaknya, saya ingin supaya
tekun, lekas boleh sampai dapat berdiri sendiri dan melakukan sendiri, berbuat sendiri
atau mengerti padanya dan berbuat dengannya dan segala-galanya”.
Macam saya katakan tadi, pernah saya test di
Kuala Lumpur.
Saya test
di Johor. Saya test di
Melaka, di Perak segala macam.
“Bagaimana saya ini?”
Dalam surat, saya kirimkan ke sini kan? Apa
orang Penang masih ingin juga kalau saya sampai di sini? Itu percubaan. Saya test semuanya
dengan perasaan saya sendiri. Ertinya, di segi lain, maaf cakap, bukan?
Jangan terlampau pula kita terasa apa pula.
Saya sendiri merasakan diri saya tadi kelemahan-kelemahan. Saya paksakan juga
macam sekarang ini datang. Saya paksakan bersiang, bermalam, menghadapi,
memberikan apa yang pantas saya berikan, menggerakkan dan segala-galanya.
Tapi cubalah tanya sama orang, bila saya kembali kepada
kemanusiaan saya lemas, letih segala-gala. Tak berdaya. Itu menandakan, itu
sama sekali, itu menandakan bahawa keadaan
badan diri tadi tidak mengizinkan lagi buat lama-lama cakap, lama-lama bergerak, lama-lama kurang rehat dan segala
macam.
Dan itu menandakan… menandakan… menandakan di masa yang akan datang, bukan? Ya nggak? Ertinya mungkin lebih
lama saya akan datang di sini, walaupun saya ingin umpamanya, duduk lama di
sini atau bagaimanalah...
* * *
Sebab, pengalaman saya sendiri,
buat saya yang kurus kecil segala macam ini, di mana saja saya berpijak bumi
Tuhan ini, insya-Allah saya ditampung.
Walaupun di tempat baru,
ditampung, di terima kehadiran dan kedatangan saya.
Macam tahun 63, waktu konfrontasi
dulu saya masuk ke Siam, saya tak mengerti bahasanya segala-gala. Petang kami
datang, malam dihantar, ditumpang orang di rumah orang Malaya yang ada di sana.
Hanya dua jam saja. Ada ada saja Tuhan dengan perantara, untuk memperkenalkan
diri saya kepada orang ramai di sana. Apa yang terjadi?
Kami orang dua, orang tiga
dengan yang menghantar. Yang dua tadi anak mudalah namanya, kan? Baru sampai
sore (senja), sudah pergi jalan-jalan. Jalan lihat tengok-tengok kampung segala
macam. Saya tinggal begitu saja di rumah. Di rumah ertinya di sana waktu itu
rumah orang melayu, orang Perak, Malaysia di sini.
Pintu, jendela, apa apa ini
belum ada pintunya. Ini segala semua dari batang-batang kayu itu, kan? Itu
pengalaman saya. Hanya dengan tikar. Itu pun kalau angin ribut, masuk!
Tetapi, Tuhan mentakdirkan ada saja waktu itu seorang anak
dara kena gigit lipan. Lipan, tahu? Yang banyak kaki tu! Memekik-mekik,
menangis-nangis. Diubat sama datuk-datuk, sama bomoh-bomoh nggak bisa baik. Ini
perantaraan Tuhan.
“Seorang bomoh dari Indonesia.
Cuba-cuba minta tolong.”
Baru dua tiga jam saya masuk kampung di Narathiwat,
orang rumah itu tanya, “Bapak. Bapak bisa ubat?”
“Ubat apa?”
“Ada orang sakit digigit lipan!”
“Sini kan banyak bomoh. Itu soal mudah
saja.”
“Dah dicuba. Tak baik.”
“Bawa sini! Gendonglah.”
Dibawa, bukan?
“Mana? Mana?”
Ditekan tempat gigit.
“Minta air. Air sejuk. Minum.”
Dia berhenti menangis. Tak apa-apa lagi.
“Luar biasa bomoh Indonesia! Dia tunjuk
saja penyakit baik.”
Wah! Besoknya pada datang. Sudah datang
terus saja sampai menyampaikan.
Menjadi pemikiran, apa sebab kami ditumpang
di rumah? Kenapa tidak di hotel? Kami sudah kehabisan perbekalan, kehabisan
ongkos (wang belanja). Politik waktu itu memandang orang melayu di sini sudah
lain pandang kepada orang Indonesia, ya nggak?
Kami di sini orang merantau. Bagaimana
hendak pulang, duit tidak ada? Di situlah makanya kami ditumpangkan pula sama orang
Malaya yang ada di sana, di Narathiwat, yang tadi mula di Golok.
Jadi
mulai besok mengalir Bhat. Bhat, duit Siam tu. Lima Bhat, sepuluh Bhat, dua
puluh Bhat, datang semuanya, apa tidak?
Apa… kami minta apa saja pada
penghulu-penghulu di sana? Itu dengan perantaraan. Ada saja Tuhan tadi, memberi
sesuatu, apa-apa untuk orang mengenal kita, untuk dapat pula hidup dan
kehidupan segala macam.
Ini. Tenaga ini, sama-sekali bukan dari
badan kita ini yang mengeluarkan.
Yang keluar dari hujung jari tadi, itu
saja.
Kita
terbuka. Apalah kita ini? Hanya seorang ‘hamba Allah’ yang menjalankan tugas. Tuhan yang menentukan segala-galanya.
Tak usah kita hiraukan bagaimana.
Nanti macam saya, bukan? Dari
Indonesia, lagi. Baru sampai saya di Kuala Lumpur, saya telefon satu orang
Cina.
“Nanti malam datang. Bapak suka
makan durian?”
Dibawa sekali dua puluh biji.
Cina itu; orang lain agama. Lain ya, tapi Tuhan yang menentukan segala-galanya.
Jadi saya ulangi lagi, kan?
Saya ingin, saya ingin lebih lekas dapat memahami, mengerti dan membawa ilmu
ini. Saya suruh turut gerak. Ikut. Ikut sampai berdiri sendiri. Dalam ertinya.
Bukan sampai tegak saja. Ertinya, dalam segala hal kita praktik untuk kita berdiri
sendiri hendaknya dengan tidak ditumpang. Ditolong juga, boleh bisa sanggup.
Itu banyak ertinya ucapan-ucapan saya tadi.
Saya cuba men-test-kan. Ada yang akan bertanya atau umpamanya, semua sekali
seolah-olah menutup mulut; tidak ada yang akan bertanya dan segala macam? Jadi,
saya lihat, saya tengok, saya inginkan bagaimana supaya dapat pandai kita untuk
berdiri sendiri, dari keakuanku jadi keakuanmu.
Ketentuan-ketentuan, semuanya
dari Tuhan.
* * *
Walaupun saya menginginkan
umpamanya, saya ingin hidup untuk sepuluh dua puluh tahun, tiga puluh tahun
lagi umpamanya kalau Tuhan menjemput saya kembali dari sini atau bagaimana, kan? Jadi sama saja semuanya,
tidak? Tapi ini yang saya idam-idamkan.
Saya harapkan, saya mahu, ya
nggak? Bekas-bekas apa, jejak-jejak apa yang sudah ditanam terdiri di dalam
bertambah, hendaknya bertambah sebab benih yang kami berikan benih padi.
Kalau di dalam Minangkabau sana, dikenal
orang Padang, benih yang kami beri, yang saya berikan, yang saya sampaikan,
yang saya taburkan di bumi Malaysia ini, benih padi. Di kampung saya, bernama
padi itu, bernama ‘padi cinto kayo’; siapa mencintainya akan kaya.
Padi. Padi. Padi yang dinamakan ‘padi cinto
kayo.’ Jadi siapa yang mencintainya, akan kaya.
Bagaimana saya mencitainya? Ertinya padi
tadi, dia bertambah terus melebat, katanya, bukan? Ibarat setitik, kalau kita
gunungkan, menggunung dia, sekepal dilautkan sehingga melaut dia ilmu ini.
Biji-biji tadi, benih-benih padi tadi,
memang jadi banyak dia kalau kita tanam, kita tanam, kita tanam dan kita tanam.
Dan padi yang banyak tadi, kalau kita hendak beras kita jemur, kita tumbuk, ya nggak?
Kalau kita mahu bikin kuih apa-apa, kita
tumbuk jadi tepung. Mahu sedap pakai kelapa, pakai gula dan segala macam.
Jangan macam yang ditinggalkan orang;
‘Kalau berilmu ikutlah, tirulah ilmu padi, tambah berisi tunduk menjadi.’ Kan
sampai di situ saja hikmah yang diajarkan, dikasi tahu kalau ilmu padi tambah berisi
tunduk menjadi, bukan?
Perkembang ilmu itu, sebab tanam padi tadi
banyak mendatangkan benih, dan menghasilkan padi yang banyak. Padi tadi kita proses.
‘Ayam bertelur di atas padi, mati
kelaparan,’ seperti kata pepatah. Kan aneh namanya, tidak? Oleh kerana apa?
Tidak mengerti tentang padi tadi. Tidak tahu bahawa padi itu akan menjadikan
dia kaya, menjadikan dia boleh hidup. Tetapi, walaupun banyak kita punyai padi,
kalau kita hendak makan, mahu makan dijemur, ditumbuk jadi beras. Kalau tidak
tak kan dapat dia menolong kita.
Jadi, ilmu ini ilmu padi! Padi. Padi. Padi.
Dalam ertinya. Saya katakan, benih umpamanya padi;
padi bernama padi cinta kaya,
siapa mencintainya
akan menjadi kaya.
* * *
Macam siang tadi kami buka
sedikit-sedikit;
Anak yang dikandung
ibu yang mengandung
Yang zahir
menunjukkan yang batin
Dari mana kita datang? Tempat
keluar tadi? Dari rahim ibu, tidak? Dari rahim tempat kesayangan. Dan begitu
pula kita, dari Rahim Allah. Kekasih Tuhan, kita semua ini.
Kan yang zahir menunjukkan yang
batin? Daripada yang zahir ini
datangnya, tahu betul kita dari rahim
ibu. Yang batin ini, yang ghaib ini, ini yang menghidupkan dengan sendirinya,
dari Rahim dari Yang Maha Ghaib, apa tidak?
Jadi, untuk itu makanya yang ghaib
di dalam ini automatik, kalau pintu telah terbuka. Kita kekasih Tuhan, sebab dia dari Rahim-Nya datangnya, tidak?
Dari Rahim dan Rahmat-Nya? Jadi itu makanya, kita memerlukan banyak
pengalaman-pengalaman.
* * *
Saya dengar orang di sini kalau
saya telah pergi, atau bagaimana agaknya?
“Bapak, apa dia cakap, jadi.
Sedangkan kita tidak!”
Berdirilah pada yang ghaib
tadi. Pintu telah terbuka. Jadi kekasih-Nya, kekasih-Nya, kekasih-Nya, kekasih
dari Yang Maha Pengasih.
Mana yang telah berumahtangga,
punya anak yang dikasihinya, kalau anak yang meminta diberinya atau tidak?
Cubalah bayangkan. Itu antara manusia saja baru.
Ini… itu, kita dapat
rasakan betul umpamanya pancaran... pintu telah terbuka, hijab telah
terbuka sudah. Pintu rumah kita yang tertutup tadi, dengan izin Yang Maha Kuasa
telah terbuka. Kita memohon kepada-Nya. Ikut saja. Mulut kita sendiri pula
nanti yang menjawab.
“Insya-Allah!” katanya, “Makbul,” katanya.
Jadi, kalau kita mahu mengembalikan
segala-galanya, penerangan-penerangan saya, ajaran-ajaran saya, ucapan-ucapan saya
lain tidak, itu ke itu itu juga. Cuma temanya, caranya, bercampur-aduk,
berlain-lain. Di dalam pengertian, dalam tujuan, sebenarnya barang itu itu
juga.
Dan untuk menghadapi hidup dengan dia,
nggak usah kita ragu-ragu. Terjadi umpama apa saja clash perang dunia apa-apa, ingatlah kepadanya. Ke mana kita pergilah!
Insya-Allah. Mudah-mudahan.
Sebab kita selalu berdampingan dengannya.
Tetapi ilmu ini ilmu mengenalnya.
Mengingat. Mengenal.
“Ingatlah kepadaku,” katanya, “supaya aku
mengingatmu pula.”
Tuhan itu pun kita yakin selalu
mengingat-Nya, baru Dia mengingat kita. Kalau kita tidak mengingat-Nya tentu
Dia tidak akan mengingat kita, tidak?
“Hmm...”
Cubalah bayangkan perkataan-perkataan saya.
Camkan.
Fikirkan. Katanya mengingat, mengenal.
Bila diingat dia, tentu kita diingatnya
pula. Cubalah dianukan… tangkap pengertian.
.Ambil bagaimana, dengan pengertian secara
kecilnya, secara besarnya.
Bagaimana bila engkau mengingat aku, aku
akan mengingat engkau pula, tidak?
Cubalah.
Bayangkan kebolehan-kebolehan kita dengan
ucapan-ucapan melalui pengetahuan kita ini.
Tapi kalau telah faham pula, “Wah! Kalau
begitu, ini boleh saja begitu… begitu…”
Tetapi berbuat baiklah. Kita tersuruh
berbuat baik.
Tetapi kalau kita hendak merosak anak dara
orang, kita ingat kepadanya, kita ingat, kita kenang, kita ingat dia, pasti dia
akan mengingat kita pula. Tahu-tahu kita tunggu bagaimana pengakuannya.
“Tak boleh tidur. Aku ingat pada abang,”
katanya.
“Ah! Masa bodoh! Buat apa? Ah…”
Itu salah kita. Sudah kita ingat dia, kita
ingat sampai dia menyerah.
“Aku tak boleh tidur. Abang terbayang sama
aku. Aku mahu engkau.”
Habis cerita. Maka itu aku ingat engkau!
Terserah pada orang tua lagi bukan?
“Itu orang tua saya,” katanya.
Sampai gitu. Omong saya mesti ditangkap,
bagaimana? Saya tidak akan mengatakan, mencurahkan, sampai ke...
“Ingatlah kepada-Ku,” kata-Nya supaya “Aku
Mengingat engkau pula.”
Itu Ilmu Tuhan, saya bilangkan. Tuhan tu
bila kita ingat kepada- Nya tentu Dia Ingat pula kepada kita.
Ini yang saya inginkan; pengertian-pengertian, tangkapan-tangkapan
macam ini. Sebab kita tidak belajar di sekolah rendah begitu kan?
Dua tambah dua dihafal, dua tambah tiga, dua, tiga, empat, lima. Tidak!
Kita di university ini! Tinggal membuat scription (melakukan)
saja. Mahu jadi doktor? Mahu jadi engineer? Mahu jadi apa? Tukang apa?
Cuba, Si Kadir duduk sini, kan? Terus ingat
seolah-olah didudukkan diri ini di rumah. Si zah apa-apa, rasanya dia (Kadir) ada
di sini saja!
Itu soal mengingat, saya bilang. Dan
istilah ketuhanan, makrifat tadi putus sudah oleh kerana pintu terbuka. Tidak
halangan apa-apa. Ibarat kita tunjuk macam ini, tunjuk macam ini bisa sampai.
Saya ingat macam ini dengan otak kepala saya, kena kan? Tidak? Apa lagi macam
ini?
Soal ini soal makrifat, segala hakikat
segala macam.
Itu orang dulu-dulu, “Tunggu sebentar nak.
Saya mahu pergi ke Mekah, sembahyang.”
Sebentar.
“Salam mualaikum…”
“Wa’alaikummussalam.”
Ya, kembali lagi. Sudah pulang. Tentu orang
tak akan percaya sebentar kita ada di sana, sebentar kita di sana.
Jadi untuk mencubanya saya bilang, kita
adakan test macam saya bilangkan tadi.
“Kita pulang sekejap ke rumah.”
Ikut saja gerak itu datang, sampai kita ke
sana. Tangan kita pegang ini, pegang ini, itu dia sendiri saja. Nanti orang
rumah, “Ah! Bila dia balik? Dia pergi tadi.”
Itu juga kalau kita mengubat anak, ubat
kita, mengubat orang.
Dia mesti pernah mimpi kita mendatangi dia
menolong malam-malam.
(Tarikh dan tempat selesai transkrip tidak dicatatkan.)
.
No comments:
Post a Comment